Berdiri di halte bis bersama dengan kawannya
semenjak SMP, Bobi. Dia adalah teman satu gengnya bersama Ricky, Bobi juga anak
laki-laki yang dikenal sangat akrab dengan Ricky seain Octha. Padangan Octha
yang sedikit melayang entah kemana membuat Bobi serasa iba melihat kawannya
yang telah kehilangan satu sosok orang yang sangat akrab dengannya meski sering
bertengkar dan berbeda pendapat dengan dirinya.
Dari kejauhan tampak bis yang seperinya sudah mulai
penuh. Bobi berusaha memecahkan lamuyan Octha dengan menepuk pundak Ochta.
“Sob, mobil jemputan kita udah dateng tuh. Hahaha.” Berusaha mengbur Octha agar
tidak meneruskan lamunan itu.
“Bisa aja lu Bob, kayak penuh deh. Mau gimana lagi kita kayaknya berdiri deh.” Ujar Octha sambil menepuk pundak Bobi.
“Bisa aja lu Bob, kayak penuh deh. Mau gimana lagi kita kayaknya berdiri deh.” Ujar Octha sambil menepuk pundak Bobi.
“Elo udah siap? One, two.. go!” itulah yang selalu mereka lakukan di pagi hari ketika bis sudah hampir berhenti di depan halte. Berebut buat dapet tumpangan sampai ke sekolah.
Tak sepadat biasanya, Octha dan Bobi masih dapat
tempat untuk duduk dan santai hingga ke depan gerbang sekolah. Kini rasanya ada
yang hilang dari mereka berdua. Biasanya dua bangku buat bertiga, sekarang
serasa longgar cuman buat berdua. Biasanya ada yang ngejailin Octha waktu
didalam bis, sekarang suara itu udah nggak ada. Seperti ada benda yang nabrak
Octha,dan itu rasanya sakit banget. Memori tentang kawannya masih jelas
terlihat di sini. Seperti ada yang berbisik disini, didalam hatinya.
“Sob, elu nggak papa kan?” tegur Bobi. Sepertinya Bobi memahami apa yang sedang dirasakan oleh sobatnya. Berulang kali dia mencoba untuk tidak membiarkan Octha larut dalam lamunan. Meski sering kali terulang kembali.
“Gue gak papa kok Bob, santai aja. Bediri yuk, bentar lagi udah sampek.” Berdiri dari bangku yang posisisnya ada di stengah-tengah bis tersebut.
“Sob, elu nggak papa kan?” tegur Bobi. Sepertinya Bobi memahami apa yang sedang dirasakan oleh sobatnya. Berulang kali dia mencoba untuk tidak membiarkan Octha larut dalam lamunan. Meski sering kali terulang kembali.
“Gue gak papa kok Bob, santai aja. Bediri yuk, bentar lagi udah sampek.” Berdiri dari bangku yang posisisnya ada di stengah-tengah bis tersebut.
-0-
Hari pertama pelajaran disekolah, setelah 3 hari
selesai MOS dengan kakak-kakak kelas yang jail dan pra-pura kiler biar disebut
disiplin, padahal ngga sama sekali. Bobi
emang satu sekolah sama Octha, tapi sekarang judulnya udah beda kalo semisal
mereka nggak sekelas. Tapi hari ini merupakan hari dimana pembagian kelas buat
para anak baru yang udah selesai MOS.
“Gue berharap kita sekelas Sob. Haha :D” bisikya lirih kepada Octha.
“Gue juga ngarep kayak gitu. Elu iat sana gih, gue masuk kelas apa?” duduk tidak jauh dari papan pengumuman yang memuat nama-nama siswa baru dan kelas baru mereka. Dari jauh Bobi terlihat tengah mencari nama mereka, dan berharap semoga tetap dapat satu kelas satu tahun ini. Namun tiba-tiba ada yang berbicara kepada Ochta,
“Gue boleh duduk sini gak?” suaranya lembut seperti wajahya, mengenakan seragam putih abu-abu dengan rapi dan kaos kaki sepanjang lutut, rambutnya dikuncir rapi.
“Boleh kok, duduk aja.” Jawab Octha antusias.
“Makasih ya, nama lu siapa?” suaranya benar-benar menggabarkan perilakunya yang ramah dan santun.
“Gue Octha, elu siapa? Gak liat pengumuman?”
“Gue Dina, bentar lagi aja kalo udah mulai sepi gue liat. Elu sendiri gak liat?”
“Haha, temen gue yang ngeliatin. Udah mulai sepi noh, liat yuk, gue temenin.” Mereka berdiri dari bangku stainlis yang mereka duduki.
“Elu sendirian di sekolah ini?” tanya Octha pada cewek yang kayaknya baik banget itu.
“Iya, gue dari luar kota, makanya gak punya temen deket disini”. Bobi menghampiri Octha sambil kegirangan, sepertinya dia membawa berita gembira buat Sobatnya yang satu ini.
“Kita sekelas Sob. Hahaha” tangan Bobi merangkul Octha sambil tersenyaum lebar.
“Apa an sih, gak pakek peluk-peluk, malu gue.” Tangannya mencoba untuk menyingkirkan tangan Bobi yang ada di pundaknya.
“Siapa nih sob? Cantik bener? Kenalin dong”
“Oh, ini Dina. Kita aja baru juga kenal, kenalan sama elu nanti aja, gue mau nganterin dia liat pengumuman” berlalu begitu saja, Octha dan Dina mulai mendekati papan yang berisi nama-nama itu. Mata mereka udah mulai jelalatan buat nyari namanya Dina. Tiba-tiba si Bobi tanya ke Dina,
“Nama lengkap elu siapa?”
“Dina Rosalia, tolong yya bantuin nyari.” Jawab Dina pada Bobi dengan lembut.
“Kayaknya tadi gue sempet liat di deretan kelas 10-4. Gue liat dulu aja ya” Bobi lari menuju lembaran kelas 10-4. Sedangkan Dina dan Octha masih sibuk mencari satu persatu nama Dina Roselia.
“Tu kan bener, kita bertiga sekelas tau” tiba-tiba Bobi menghampiri Dina dan Octha dengan kata-kata itu.
“Gue berharap kita sekelas Sob. Haha :D” bisikya lirih kepada Octha.
“Gue juga ngarep kayak gitu. Elu iat sana gih, gue masuk kelas apa?” duduk tidak jauh dari papan pengumuman yang memuat nama-nama siswa baru dan kelas baru mereka. Dari jauh Bobi terlihat tengah mencari nama mereka, dan berharap semoga tetap dapat satu kelas satu tahun ini. Namun tiba-tiba ada yang berbicara kepada Ochta,
“Gue boleh duduk sini gak?” suaranya lembut seperti wajahya, mengenakan seragam putih abu-abu dengan rapi dan kaos kaki sepanjang lutut, rambutnya dikuncir rapi.
“Boleh kok, duduk aja.” Jawab Octha antusias.
“Makasih ya, nama lu siapa?” suaranya benar-benar menggabarkan perilakunya yang ramah dan santun.
“Gue Octha, elu siapa? Gak liat pengumuman?”
“Gue Dina, bentar lagi aja kalo udah mulai sepi gue liat. Elu sendiri gak liat?”
“Haha, temen gue yang ngeliatin. Udah mulai sepi noh, liat yuk, gue temenin.” Mereka berdiri dari bangku stainlis yang mereka duduki.
“Elu sendirian di sekolah ini?” tanya Octha pada cewek yang kayaknya baik banget itu.
“Iya, gue dari luar kota, makanya gak punya temen deket disini”. Bobi menghampiri Octha sambil kegirangan, sepertinya dia membawa berita gembira buat Sobatnya yang satu ini.
“Kita sekelas Sob. Hahaha” tangan Bobi merangkul Octha sambil tersenyaum lebar.
“Apa an sih, gak pakek peluk-peluk, malu gue.” Tangannya mencoba untuk menyingkirkan tangan Bobi yang ada di pundaknya.
“Siapa nih sob? Cantik bener? Kenalin dong”
“Oh, ini Dina. Kita aja baru juga kenal, kenalan sama elu nanti aja, gue mau nganterin dia liat pengumuman” berlalu begitu saja, Octha dan Dina mulai mendekati papan yang berisi nama-nama itu. Mata mereka udah mulai jelalatan buat nyari namanya Dina. Tiba-tiba si Bobi tanya ke Dina,
“Nama lengkap elu siapa?”
“Dina Rosalia, tolong yya bantuin nyari.” Jawab Dina pada Bobi dengan lembut.
“Kayaknya tadi gue sempet liat di deretan kelas 10-4. Gue liat dulu aja ya” Bobi lari menuju lembaran kelas 10-4. Sedangkan Dina dan Octha masih sibuk mencari satu persatu nama Dina Roselia.
“Tu kan bener, kita bertiga sekelas tau” tiba-tiba Bobi menghampiri Dina dan Octha dengan kata-kata itu.
Mereka bertiga mungkin uda jodoh buat satu kelas. Koridor
sebelah kanan jadi jalan menuju ke kelas mereka. Harapan buat sekelas dengan
Sobat tercita juga terkabulkan. Sekarang Bobi setidaknya bsa sedikit lega
karena bisa mantau Octha kalau lagi di kelas, ditambah juga setidaknya ada
cewek yang udah mau jadi temen ngobrolnya Octha di hari pertama masuk kelas.
Bobi seringkali sedikit berfikir tentang masa-masa dimana Octha kehilangan
orang yang dia sayang dan orang yang udah jadi sahabatnya dari SMP kelas 1 itu.
Sepanjang koridor itu Octha sudah bisa tersenyum dan
bergurau dengan Dina dan Bobi. Memasuki kelas yang tampaknya suasana mereka
udah berbeda. Bagi cewek-cewek yang gila
dandan, mereka udah ga keliatan lagi seperti siswa SMP yang baru lulus. Ada
juga yang wajahnya juga tete aja waktu kayak MOS kemarin.
Duduk di bangku sebelah kanan jendela di deret nomer
3. Sekarang Octha dan Dini duduk sebangku. Nampaknya Bobi juga sudah mendapat
teman yang sepertinya sekelas waktu mereka MOS kemarin. Hari ini emang ada
peraturan untuk free, tanpa ada kegiatan belajar, mereka hanya di isi
perkenalan dan telling story bersama guru baru mereka.
Sesekali jika guru sedang keluar ruangan dan Dina
sedang asyik dengan dunianya, Octha memandang keluar jendela dan dalam hatinya
berkata “Kalo aja elu ada disini barengan
gue sama Boni,pasti bakal nyenengin kayak apa yang kita bicarain kemarin-kemarin”.
Mungkin gak mudah buat berkata ikhlas di hatinya
meski semuanya sudah tidak didepan mata, namun inilah yang dirasakan Octha,
beban dimana seharusnya ia menikmati labil emosi dengan kehilangan sesosok
sahabat dekatnya. Sesekali ia tersadar bhawa apa yang diperbuatnya sekarang
bukanlah sesuatu yang baik untuk segalanya, namun jika rasa rindu yang menghampirinya,
tak ada hal lain lagi yang dapat ia lakukan selain menulis diselembar kertas
putih apa yang ia rasakan saat itu.
-0-
Hari pertama masuk sekolah berjalan lancar, tak ada
yang membuatnya jengkel ataupun membuatnya gak nyaman sama sekali di kelas. Mungkin
ini awal yang baik untuk sekolah yang baru.
Malam ini tidak ada satu hal pun yang sedang
dilakukan. Masih sama seperti malam-malam sebelumnya, berdiam diri didepan
jendela kamar dengan termenung melihat bintang. Seperti ada hal yang membuatnya nyaman bila seperti itu. Tangannya memegang
novel yang dipinjamnya dari alamarhum sahabatnya itu. Mencoba beranjak dari
kursi yang sedari tadi membuatnya nyaman dengan lamunannya, bermaksud untuk
menuju meja tempatnya biasanya belajar di malam hari. Entah yang ada dalam
hatinya kini, namun Octha mencoba membereskan ruang tidurnya yang sudah sejak
kematian sang teman tak pernah dia bersihkan lagi. Dari balik pintu sang mama
diam-diam melihat apa yang sedang di lakukan anaknya.
Sampek kapan gue
kudu kayak gini? Pasti juga Ricky gak seneng liat gue cuman bisa ngelamun dan
nangis kalo lagi kangen sama dia. Gue kudu move on, Ricky tau kok kalo gue
bener-bener bisa ngelewatin masa-masa ini. Dari
mulutnya keluar kata-kata itu, seperti ingin melawan rasa sakit yang ada di
hatinya. Dia tersadar, apa dengan seperti ini ada yang membuat Ricky kembali
didepannya? Apa dengan menangis setiap malam Ricky bisa hadir untuk
mendekapnya? Semua itu tidak mungkin. Octha mulai menyimpan semua kenangan dengan Ricky kedalam
lacinya. Dia tak ingin dihantui rasa marah kehilangan sahabatnya. Semua foto
dan buku-buku yang masih tersirat kenangan tentang Ricky, tak terlihat di
kamarnya. Memasukkan semua itu kedalam laci yang tak pernah dibukanya. Mungkin ini
salah satu caranya untuk mengawali semuanya.