Corat Coret :) Hasil dari liat bintang semalem

Posted by on Kamis, 03 Mei 2012


Jam weker di meja kamarnya sudah menujukkan pukul 1 malam. Kini jemarinya mulai mengayunkan pena yang kini tengah dia genggam. Kata-kata yang  dirangkainya jelas sedang menggambarkan apa yang ia rasakan sekarang. Meja, kursi dan semua di atasnya yang berada di depan jendela lantai dua kamarnya merupakan teman dan saksi setiap kali ia tengah menulis catatan hariannya setiap malam.

Malam ini, bulan di langit hanya terlihat separuh dari bentuknya. Rasa kantuk di mata dan raganya tak kunjung pula datang untuk mengantarkannya memejamkan mata dan beranjak menuju alam bunga tidur. Sesekali ia menoleh ke kanan untuk melihat apakah ada pesan tak terjawab di ponsel miliknya. Namun, hingga detik ini tak ada satupun pesan yang masuk di ponselnya, tangannya mengalun lagi untuk melanjutkan apa yang kini tengah ia rangkai di dalam lembaran kertasa putih itu.




Kini, tengah lebih dari separuh halaman kertas ia menulis, dan itu awal yang cukup memprihatinkan untuknya. Kini matanya mulai menghangat, jemarinya tak sanggup lagi untuk mengalunkan pena yang tengah singgah di sela-sela jemari itu. Mulutnya mulai bersuara. Hening yang saat itu berada disekitarnya, suara isak tangisnya mulai terdengar, penanya telah di lepas, dan ke dua tangannya menutup matanya yang telah basah. Yah, dia tengah menangis, ia sedang berada di klimaks emosinya. Semua yang ia rasakan tengah memuncak, kata-kata itu masih terdengar jelas di telinganya, bahkan serasa tengah menghantui gadis kecil itu. Rasa sepi yang kini datang kepadanya, rindu akan suara sang kekasih yang setiap malam mengantarkannya menuju alam mimpi meski hanya lewat komunikasi ponsel. Pesan yang berisi sanjungan akan dirinya tak lagi menghiasi inbox di ponselnya. Satu sosok  pemuda yang dia rasa akan kelak menjadi imamnya telah menghilang entah kemana saat ini.

Dan isak tangis itu berawal dari sini...
Sore itu sangat indah, matahari sangatlah indah, begitu pula dengan awan yang mulai berwarna jingga. Levi tengah berjalan di salah satu trotoar kota yang ramai dengan pemandangan kendaraan bermotor lewat di sekitarnya. Langkah kakinya kecil, tak lebih dari setengah meter. Dari wajahnya yang manis itu tersirat apa yang sedang ada di hati dan pikirannya, semuanya menggambarkan kebahagiaan. Bola mata yang kecil itu tengah bercerita kepada setiap orang yang di sapa Levi bahwa dirinya tengah sangat bahagia dan tenang.

Namun siapa yang mengira jika di hari tepat 2 tahun umur hubungannya bersama Rio, pemuda nan rupawan dan santun itu akan menemui ujung yang pahit dan tidak di inginkan olehnya.

Kafe kecil di ujung perempatan itu menjadi tempat Levi melepaskan kelelahan ayunan kakinya tadi. Segelas orange juice tengah ia teguk sambil menunggu sang pujaan hati. Ponselnya selalu di genggamnya, barangkali ada pesan ataupun panggilan dari sang kekasih.

Tak lama ia menunggu, pemuda rupawan itu tengah berjalan menuju meja tempat Levi duduk dan meneguk orange juice itu. Langkah kakinya tak dengengar seperti biasanya, seperti ada beban yang memberatkan langkah itu. Apa yang di rasakan Levi sore itu berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan sang kekasih saat ini. Disambutnya sang kekasih dengan senyum yang indah, sapaan ‘sayang’ keluar dari bibirnya yang cantik itu. Semuanya berjalan seperti biasanya. Namun kini Levi merasakan kejanggalan pada kekasihnya, sapaannya hanya dibalas dengan senyuman yang keluar dari bibir sang kekasih.

Suasana hati yang tadinya berbunga-bunga, kini seketika berubah menjadi gundah dengan balas senyuman yang tak seperti biasanya pada sang kekasih. Percakapan mereka dimulai, dan inilah klimaks dari cerita ini..

“Sayang, bagaimana hari mu tadi?” ditanya nya sang kekasih dengan senyum yang manis.
“Seperi biasanya kok sayang, bagaimana harimu? Menyenangkan?” dijawab dengan sabar pertanyaan Levi.
“Menyenangkan sayang.” Kini tangannya berada di atas meja dan memegang tangan sang kekasih dengan sangat lembut dan penuh cinta.
“Sayang, aku mau ngomong sesuatu.” Kini beban yang memberatkan langkah pemuda rupawan itu mencoba di keluarkannya sedikit demi sedikit lewat kata-katanya.

Saat itu hatinya berdebar, didalam hatinya terdapat pertanyaan besar, apa yang akan terjadi? Ini bukan berita baik ataupun seperti sebuah kejutan untukku. Batinnya merasa ini tak lagi baik untuknya, di telannya air yang berada didalam mulutnya. Kini bibirnya berucap lembut..
“Apa sayang? Bilang aja.”
“Aku rasa, kita gak bisa lanjut Lev.”

Bibirnya tak berucap lagi, mata menghangat, serasa ada benda tajam yang tengah ditancapkan dihatinya. Hari ini genap 2 tahun usia hubungannya dengan mantan kekasihnya itu. Seketika itupun juga apa yang membuat hatinya bertanya terjawab juga. Inikah akhir dari benih cinta dua jeloli itu?

Dilepaskannya genggaman sang kekash, serasa ini seperti pukulan yang sanngat berarti dan membuatnya terpuruk seketika. Pemuda rupawan itu meninggalkannya dengan muka tertunduk, matanya berkaca. Mungkinkah ini akan berakir begitu saja? Apakah yang membuat berkata seperti demikian? Tak berpikir panjang, tubuhnya yag ulanya bersandar di kursi kafe kecil itu mulai beranjak. Berlari sekuat tenaga agar tak kehilangan  jejak Rio, sekuat tenaga ia memberi kekuatan pada dirinya agar tak terlihat lemah di hadapan orang lain. Meski telah mengerahkan seluruh tenaganya, tak menghasilkan apapun, Rio telah jauh dengan dirinya. Ia telah menghilag dari pandangan gadis kecil itu.


Makan malam kali ini tak seperti biasanya, kali ini Levi tak banyak bicara, sang kak mengetahui apa yang sedang ia rasakan, dan kakaknya berusaha diam agar tak semakin memperkeruh pikirannya. Kali ini dia duduk tak berhdapan dengan kakaknya seperti biasanya, sedikit menjauh, dan pandagannya seringkali kosong tiap kali seusai melahap sesendok makanan dan seteguk air. Sepiring di hadapannya tak habis, nampaknya ia seddang ta bernapsu untuk makan ataupun bicara. Tak sepatah katapun ia ucapkan, semua itu membuaat sang kakak semakin khawatir akan apa yang dirasanya.

Berada didalam kamar hingga selarut ini, dan bergelut dengan kertas dan pena yang berada di atas mea belajarnya. Namun tak sepatah katapu terucap dari bibirnya. Semuanya hanya ia tuangkan di dalam kertas-kkertas itu. Matanya kini terlihat sembab, tak terlihat lingkar senyum saat dia menatap boneka mugil di sudut ruangannya itu.

Beranjak dari meja itu dan berjalan beberapa langkah untuk mejangkau boneka mungil itu. Pemberian Rio, masih di simpan dan dijaga hingga kini. Boneka itu hadiah untuk ulang tahunnya yang ke 17 tahun di bulan kemarin. Dipeluknya sangat erat benda mungil itu, mataya kkembali basah dan air matanya menetes di boneka yang di berinya nama popo. Ia masih ingat satu kalimat yangdi katakan Ri saat memberikan hadiah itu, “Jagalah ini serti aku menjagamu dan kamu menjaga aku”. Isak tangis itu semakin keras terdengar. Dari balik pintu kamarnya sang kakak menghampirinya dan memeluknya untuk menenangkan apa yang ia rasakan saat ini.

Tak lama dari itu, nampaknya alunan musik klasik yang mengantarkannya menuju alam mimpi. Sang kakak tertidur di sampingnya dan memastikan agar adikknya tak mengulangi hal yang seperti sebelumnya.


Leave a Reply

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Pengikut