Tangannya
masih digegam sang kekasih, ditatapnya mata sang kekasih dengan penuh tanda
tanya. Apa yang kini ia pikirkan adalah sesuatu yang tak pernah dia pikirkan
sejak awalnya mengenal sang kekasih. Pikirannya tengah mengarah ke masa dimana
semuanya terasa sangat indah dan terasa membuatnya terbang. Namun apa yang kini
ia rasakan tak seindah seperti awalnya.
PUTUS!
Satu kata yang mungkin tak ingin dia dengar saat ini. Di hari yang menurutnya sangat bahagia untuknya dan keluarganya, ulang tahun pernikahan orang tuanya. Disaat dia ingin memperkenalkan sang kekasih kepada semua keluarganya. Memperlihatkan pada sang ayah siapakah yang hendak menjadi imamnya di hari kelak, namun semua itu tak lagi aa dalam pikirannya.
Sebuah
batu yang menghantamnya dari dalam dirinya sendiri. 8 bulan, usia yang cukup
lama dalam sebuah hubungan pacaran. Apa yang ia perjuangkan selama ini hanyalah
sebuah hal yang sia-sia untuk hubungannya. Nita tak pernah memikirkan hal yang
akan berakhir sesingkat ini. Apa yang menjemputnya untuk mengiyakan dirinya
mencoba terjun ke dalam dunia yang menurutnya sangat asing namun indah.
Menyenangkan dan mengindahkannya namun harus berujung keterpurukan saat ini.
Semua itu yang disebut dengan lika-liku cinta masa SMA.
Sore
ini di kenakannya gaun yang di belinya bersama Alfin minggu lalu. Yang
dirasakannya sakit saat ini, mengenakan gaun yang dipilihkan seseorang yang
kini tengah membuatnya sangat munafik di depan keluarganya. Sebisda mungkin di
pasangnya wajah yang sangat ceria dan cantik.
Berjalan
menuju podium, dimana sang mama dan papa tengah menunggunya untuk meniup lilin.
Terlihat sangat cantik dengan senyumannya. Namun, apa yang dia perlihatkan
kepada mereka saat ini bukanlah Nita yang sekarang, ada luka yang membuatnya
kini merasakan perih yang luar biasa. Semuanya malam itu berjalan sangat
lancar. Pesta ulang tahun pernikahan mama dan papanya sangat perfect, seperti
apa yang direncanakan sebelumnya bersama mama dan papanya. Tak ada satupun yang
cacat dari rangkaian acara tadi.
Pesta
telah usai dengan sempurna, tak ada sepatah katapun yang ia katakan saat akan
pergi menuju kamarnya, hanya meninggalkan kado yang tengah di persiapkannya
semenjak minggu lalu bersama Alfin. Langakahnya terdengar sangat berat untuk di
ayunkan, pikirannya tengah melambung saat siang tadi di salah satu cafe yang
biasanya digunakannya bertemu dengan Alfin, bahkan untuk mendiskusikan
bagaimana mereka akan melakukan piknik agar tak ketahuan orang tua Nita. Semua
itu sangat menyenangkan untuknya, namun kini semua itu berubah seketika dengan
perubahan sikap Alfin kepadanya.
Di
dalam kamar kecil yang berada di lantai 2 rumahnya, dia tengah memikirkan
kejadian dan seluruh apa yang terucapkan Alfin dan di lontarkan hanya untuknya
siang tadi. Semilir angin yang berhembus lewat jendela kamar yang belum di
tutupnya hingga selarut ini menjadi teman lamunannya. Buku harian yang tengah
bersanding dengan pulpen biru faforitnya masih belum tertuliskan satu katapun
untuk hari ini. Sesekali ia melihat handphonenya, memastikan apakah ada sms
ataupun panggilan yang masuk ke nomornya, tapi apa yang ia dapatkan, nihil!
Masih tetap tak ada satupun pesan untuknya malam ini. Di dalam hatinya, ia tengah
berharap ada ucapan selamat tidur yang biasanya di kirim Alfin untuknya sebelum
ia terlelap bersama kelelahannya seharian ini. Mungkin ini bukanlah satu hal
yang mudah untuk diterimanya, ada seseorang yang setiap saat memperhatikannya
meski tidak secara langsung. Namun inilah kenyataannya, Alfin tak lagi menjadi
seseorang yang kini selalu ada untuknya.
Ini
sudah pukul 1 pagi, namun matanya tak dapat di pejamkan. Besok memang masih
hari libur, namun tak biasanya Nita tertjaga hingga selarut ini. Diambilnya
pulpen yang tengah bersanding di samping buku hariannya, mulai di tuliskannya
kata demi kata di buku yang serba penting itu. Memberanikan diri untuk menulis
apa yang terjadi hari ini. Kata-katanya mulai menggambarkan semenjak ia
terbangun dari lelapnya kemarin malam. Semuanya ia tuliskan tanpa ragu dan
persis seperti yang terjadi saat tadi. Namun hati dan pikirannya tak kuat lagi
semua kemunafikkan yang tengah ia pendam untuk Alfin, saat-saat peristiwa yang
sangat menyakitkan untuknya, ayunan penanya mulai melamban, matanya tersa
hangat dan air matanya mulai mengalir dipipi dan sesekali menetes di tangan
kirinya. Seperti berada di sebuah panggung dirinya hari ini, memerankan
semuanya dengan baik, menutupi kesakitannya dengan senyuman manis dan cantik
membuat semuanya seolah mengira dirinya tengah tak ada masalah.
Semua
yang ia rasakan tengah berada dipuncak emosinya, klimaks dramanya telah
menghampiri dirinya. Tak dapat menahan semuanya, air matanya sangat telihat,
isak tangisnya terdengar jelas. Ia tengah merasakan kesakitan yang teramat
sangat. Kedua matanya tengah mengalir derasa air mata.